Prosa Selasa 1: Malam Ke-Delapan Puluh Dua

Ada alasan mengapa ia sangat mendambakan sang rembulan; ia tak  pernah menanyakan apapun ke padanya, atau mengharapkan sebuah jawaban. Ia tak pernah sekalipun membuat gadis itu menjelaskan apa-apa mengenai dirinya.

Ia selalu di sana, bernafas, bercahaya, dan dengan cara yang tak dimengerti oleh manusia; mendengarkan.



Ia menjelajahi dunia sekitarnya. Mencoba mengenali dan memahami. Seperti bagaimana ia mencoba mengerti sang siang. Dan bagaimana ia mencoba memaknai sang malam. Begitu banyak hal yang ia perhatikan. Begitu banyak sentuhan yang ia rasakan. Aroma yang ia cium. Suara yang ia dengar. Rupa yang ia kenal. Namun tidak ada yang seperti itu. Tidak ada yang mengalahkan pesona sang bulan.

Malam ke-delapan puluh dua dalam hidupnya tidak berjalan seperti malam biasanya. Di hari itu, udara malam terasa lebih dingin. Aroma bunga angsana dan dedaunan segar tercium sedikit lebih pekat. Belaian angin terasa sedikit lebih lembut. Dan bulan itu. Bulan itu terlihat sedikit lebih besar.

Delapan puluh dua malam ia lewati dengan menatap indahnya sang rembulan. Delapan puluh dua mimpi saat ia terlelap dalam tidurnya. Hidupnya ia habiskan hanya dengan mendambakan bulan itu. Bulan yang sebenarnya hanyalah sebuah pantulan cahaya. Sebegitu istimewa-nya kah bulan tersebut? Tidakkah ia lelah memperhatikan apa yang tak bisa ia sebut 'miliknya'? Hanya mengagumi dari kejauhan, sekedar menikmati bayangnya.

Lelah menunggu, diombang-ambing ketidak pastian. Ia pun beranjak dari tangkai pohon itu, mengepakkan sayapnya menuju sang bulan. Dengan harapan ia dapat melihat bulan itu dengan lebih jelas. Dengan harapan, bulan itu dapat ia sebut sebagai miliknya. Dengan harapan, hanya ialah yang dapat menikmati sinarnya-- yang biasanya menyiraminya, hingga sepucuk rasa bahagia, yang tak terdefinisikan, muncul dalam benaknya-.

Sayapnya ia kepakkan. Tubuh mungilnya semakin naik.
Terus ia kepakkan. Tekadnya bulat untuk menjadi lebih dari sekedar penikmat bayang.
Masih ia kepakkan. Ingin ia miliki... Ingin ia sentuh... Ingin ia puaskan kerinduannya.

Entah pada kepakan sayap ke-berapa, ia mulai merasa kelelahan. Namun penatnya tak menjadi penghalang antara dirinya, dan bulan yang ia damba-dambakan. Terus ia kejar. Terus ia coba gapai. Namun pada akhirnya, ia hanya mati kelelahan.
.
.
.
Mati akibat mengejar apa yang ia tak bisa miliki.
.
.
.
Ialah burung pungguk yang merindukan sang bulan.
.
.
Ialah aku.




Baca juga: Bintang
Share on Google Plus

About a

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Posting Komentar