Omong kosongku hari ini, segala pengakuan ini, omelan-omelan ini, hanya akan kujadikan sebagai sebuah olokan di opera sabun. Agar semua orang tahu betapa bodohnya aku. Agar semua orang tahu bahwa aku adalah seorang lelaki dungu, yang menyimpan cintaku dalam diamku.
∞
Cnidaria
Porifera
Arthropoda
Kata-kata itu ia perdengarkan untuk dirinya sendiri. Sembari menutup mata, satu per satu kata-kata itu ia lafalkan.
Sklerenkim...
Parenkim...
Klorenkim...
Lagi, lamat-lamat, ia bisikkan kata-kata itu. Ini sudah ke 8 kalinya ia mengulang-ngulang ketiga kata itu, beserta definisinya. Gadis aneh. Sampai kapan ia terus menghafal isi buku detik-detik IPA itu? Dengan melihatnya saja aku lelah. Bukan, bukan lelah melihatnya. Aku lelah melihatnya belajar. Bukan lelah melihat sosoknya. Ya... Kedua kalimat itu berbeda.
Dia aneh bukan hanya karena kecintaannya yang mendalam pada pelajaran. Tapi juga dirinya yang selalu sibuk sendiri, Ia bisa duduk sendiri selama berjam-jam tanpa merasa bosan. Mengapa?
Karena ia selalu ditemani oleh novel-novel tebalnya.
The Maze Runner, The Scorch Trials, The Fault in Our Stars, Looking For Alaska, dan setumpuk novel-novel berbahasa inggris lainnya. Ya ampun... Sampai kapan kau terus menambah ketebalan kacamatamu? Tahun ini min mu sudah 250 dioptri... Jika begini terus, bagaimana dengan tahun depan?
Bukan hanya novel. Tapi juga buku catatan kesayangannya yang selalu ia bawa ke mana-mana. Pernah sekali aku mengintip isi dari buku itu saat ia sedang menulis di depanku. Isinya bisa dibilang kumpulan jurnal-jurnal berbentuk prosa, atau analogi, atau puisi. Aku bertanya-tanya bagaimana ia bisa mempuitisi segala hal-hal sederhana yang aku temui setiap hari. Seperti hujan yang turun. Atau sinar matahari yang membias lewat jendela kelas. Atau warna langit di hari itu.
Aku tak pernah bisa mengerti berbagai hal mengenai gadis itu. Seperti kecintaannya dalam menggoreskan pensil mekanik Rexigrip Pilot 0.5 mm di atas buku sketsanya, atau membuat gambar realistis dengan pensil arang merek Derwentnya, Wajahnya yang berseri-seri saat menemukan trailer film horror terbaru, atau saat ia membaca kutipan-kutipan dari film V for Vendetta. Senyumnya yang mengembang saat mendengar musik-musik jazz lembut dan klasik. Wajahnya yang amat menikmati setiap bunyi yang dikeluarkan tuts piano yang ia tekan, senar gitar yang ia petik, senar biola yang ia gesek. Aku tak mengerti semua itu.
Dan satu hal lagi... Yang paling selalu membuatku berpikir keras untuk memahami polamu.
Mengapa kau begitu menikmati diammu, dan kesendirianmu? Hingga keberadaanku yang selalu mengagumimu dari tempat duduk di belakangmu, tak kau sadari. Hingga aku yang selalu memperhatikanmu, gadis berikat rambut merah, tak pernah kau gubris.
Menyebalkan. Dirimu membuatku merasa sedikit jengkel. Dengan adanya dirimu, aku selalu terpancing untuk memahami. Caramu berpikir, gelagat-gelagatmu. Tetapi hanya aku yang memperhatikanmu di sini. Hanya aku yang memberi perhatian lebih. Aku kesal setengah mati saat aku tahu betapa bodohnya aku, karena terus memaksakan keadaan dengan menganggap kita sewarna saat menemukan fakta-fakta baru tentangmu. Aku mencoba menyamakan segala sesuatu yang kita lakukan. Dan saat aku sadar, aku hanya beranalogi di sini. Kita tidaklah sejalan, hanya aku yang terlalu melebih-lebihkan.
Hey, Chloera. Jika aku katakan bahwa aku tertarik denganmu, apakah itu akan menciptakan sebuah perbedaan? Tak perlu yang ekstrim. Cukup yang sederhana saja. Tetapi signifikan. Jujur saja, aku lelah menjadi orang yang mengamati tiap gerak-gerikmu dari kejauhan. Aku ingin lebih dekat. Agar setidaknya aku tak harus terus beranalogi dan menyamakan hal-hal yang jauh berbeda tentang kita.
Hey, Chloera. Apa yang menurutmu harus kulakukan? Pantaskah aku untuk mendatangi gadis sepertimu, menghapuskan jarak di antara kita, lalu memulai sebuah hal baru? Aku ingin lebih dekat. Aku ingin lebih akrab. Chloera, Chloera, CHLOERA!!!
.
.
.
Hanya satu meter. Hanya satu meter jarak di antara kau dan aku. Namun jarak itu menahan garis kehidupan kita untuk saling berinterseksi. Sehingga kita hanya berjalan secara beriringan. Tanpa bisa bertaut satu dengan lainnya. Hanya bisa saling melihat, tanpa bisa terlibat dalam kehidupan masing-masing dari kita. Hanya bisa mengetahui sebuah nama, tanpa bisa memafhumi segala detil-detil di balik rangkaian huruf itu.
Hanya satu tepukan di pundak. Sebuah nama. Sebuah sapaan. Hanya satu meter.
P.s: Maaf atas keterlambatan postingnya. Akhir-akhir ini PLN sibuk membetulkan jaringan listrik kota Pontianak. Hingga entri ini terpaksa harus bertahan dalam laptopku. Melewati hari yang seharusnya ia temui.
0 komentar:
Posting Komentar